Memasuki bulan Desember, tetangga depan rumah mulai lebih sering lagi menyetel lagu-lagu natal. Tak keras memang, tapi karena jarak rumah kami tak terlalu jauh, maka lagu-lagu pujian yang keluar dari CD player mereka, terdengar dari dalam rumah kami. Terganggu?
Tidak. Lagu-lagu natal justru membawa saya ke ingatan masa kecil. Almarhum ayah punya banyak koleksi kaset barat. (Btw, Milenial tahu kaset kan? Bukan. Itu bukan tempat membersihkan kaki. Itu adalah nenek moyang compact disc).
Favorit ayah adalah Beatles dan ABBA (Google search saja ya tentang ini, hehe…) Ia memutarnya setiap kali, maka nggak heran kalau saya bisa menyanyikan dengan baik lagu-lagu yang grup musik itu rilis sepanjang tahun 60-70an. Setiap liriknya terekam dalam sel-sel otak saya.
Salah satu lagu ABBA yang bisa saya nyanyikan luar kepala (tanpa bicara kualitas suara saya lho, ya) adalah White Christmas. Pun lagu-lagu natal berbahasa Inggris lainnya. Ayah memang sering memutar kaset berisi lagu-lagu natal populer. Kenapa? Sebab dia suka irama musiknya. Enak didengar, katanya.
Maka, selain White Christmas dan Jingle Bells, saya pun hafal lagu-lagu semacam Gloria in excelsis Deo, Hallelujah, dan lainnya. Bahkan tanpa sadar saya suka menggumamkan lagu-lagu tersebut.
Hingga ketika kuliah semester pertama, saat jalan ke mall di suatu Desember dengan seorang kawan. Lagu-lagu natal populer yang diputar di mall membawa saya ikut menyenandungkannya perlahan sambil memilih-milih baju. Lalu kawan saya, dengan nada tak senang, menanyakan kenapa saya menyanyikan lagu-lagu Kristen. “Dosa, lho!” katanya menambahkan.
Hari itu, saya baru tahu bahwa ada orang-orang yang merasa terganggu jika seorang non Kristen menyanyikan lagu-lagu pop bertema natal.
Hari itu, saya baru tahu bahwa ada ancaman masuk neraka jika menyanyikan lagu-lagu semacam, itu. Sesuatu yang tidak pernah saya percayai ~ sejak dulu dan sampai kapan pun.
To me (and my dad too), they’re just beautiful pop songs.
Saya bingung, sejak kapan mengumandangkan lagu-lagu sejenis itu membuat saya kafir? Sejak kapan pula menyanyikan lagu-lagu rohani Islam sepenuh jiwa membuatmu masuk surga?
Kawan saya dengan kekeuh meyakinkan saya agar tak pernah lagi menyanyikan lagu-lagu itu. Tapi dia nggak berhasil, sebab saya nggak pernah bisa lihat apa yang salah dari hal tersebut. Kalau memang itu salah, berarti dosa saya besar dong. Soalnya, saya pernah bersekolah di SMP Katolik.
Di Makassar, saya belajar di SMP swasta Katolik. Ibu yang juga mendapat pendidikan formal di yayasan Katolik Marsudirini Solo yakin bahwa kedisiplinan sekolah Katolik sangat baik bagi perkembangan saya dan adik. Alasan lainnya, di kota itu (pada tahun 80an, sekarang pasti lebih baik) sekolah negeri belum memiliki fasilitas sebaik sekolah swasta. Ditambah, tak banyak sekolah berbasis agama Islam seperti masa sekarang.
Jadilah saya menghabiskan tiga tahun masa remaja di sekolah Katolik. Sebab tak pernah diajari memandang rendah agama atau etnik lain, saya tak ada masalah berbaur dengan teman-teman yang hampir semuanya Katolik dan beretnis Tionghoa.
Di kelas, hanya lima, mungkin enam, orang non Katolik. Tiga atau empat kawan beragama Kristen Protestan, satu orang menganut keyakinan Budha dan saya yang beragama Islam sendiri.
Tidak ada dispensasi, saya tetap harus belajar agama Katolik. Tak harus menghafal doa-doa dalam Madah Bakti atau masuk gereja setiap hari Senin seperti teman-teman lain, tapi saya tetap wajib mengingat beberapa peristiwa penting dalam sejarah agama. Tak harus menghayati peristiwa jalan salib, namun tetap perlu mengetahui apa yang terjadi kala itu, dari awal sampai akhir.
Dan buat saya semua hal tersebut menyenangkan. Saya cinta pelajaran sejarah, dan selalu ingin tahu apa yang pernah terjadi di masa lalu. Saya dapat nilai bagus dalam hal ini.
Guru-guru di sekolah itu kebanyakan adalah Frater. Ada guru perempuan, tapi tak ada yang biarawati. Mereka galak dan sangat disiplin ketika berkaitan dengan pelajaran sekolah, tapi penuh kasih di luar kelas. Meski saya bukan murid yang jago matematika atau cemerlang dengan prestasi, guru-guru sayang sama saya.
Dan begitulah, sekolah itu membentuk isi kepala saya hingga saat ini. Hubungan baik dan menyenangkan dengan teman serta guru yang berbeda agama dan etnis, membuat saya sering terkaget-kaget dengan kawan-kawan dari masa sekarang yang membenci non muslim sampai ke urat darahnya. Apalagi jika kebencian itu kemudian disebar-sebarkan, lalu mendapat banyak LIKE dan follower. Benar-benar gagal paham.
Hingga sekarang, saya masih akrab dengan teman-teman SMP. Tak ada rasa takut, sebal atau jengkel pada mereka karena mereka bukan Islam, dan tidak sesuku. Sama tak sebalnya dengan mendengar lagu-lagu natal dari rumah tetangga depan yang Katolik.