”Astrid, kenapa agama begitu penting di sini?”
”Kenapa Bapak bertanya?”
”Karena, setiap berkenalan dengan orang baru, saya pasti ditanya apakah saya Katolik atau Protestan”
”Dan apa jawaban Bapak?”
”Saya kira saya tidak peduli apa agama saya. Lagipula buat saya agama adalah sesuatu yang tak rasional”
Itu adalah sekelumit percakapan saya dengan Greet Andersen beberapa tahun lalu saat saya mendapat kehormatan mengajar bahasa Indonesia kepada duta besar Denmark tersebut. Tentunya obrolan itu dalam bahasa Inggris, sebab ia masih beginner.
Awalnya Greet mengira Indonesia adalah negara Islam seperti di kebanyakan negara di jazirah Arabia, artinya hukum Islam dijalankan secara ketat. Makanya saat pertama menginjakan kaki di bandara Jakarta, dia terheran-heran dengan banyaknya perempuan berkaus dan jeans ketat. Ia juga heran melihat mereka kelihatan tak punya masalah berdampingan dengan perempuan yang berhijab, dan yang paling membuatnya heran (karena tak pernah ia lihat sebelumnya) adalah perempuan berhijab dan mengenakan kaus serta jeans ketat ada di mana-mana.
Ia bercerita di negaranya, meski tak ada larangan seperti di Perancis, mengenakan simbol-simbol agama dilihat sebagai kaum terbelakang. Pada umumnya, beragama bukan hal yang esensi di sana.
Saya bercerita, di sini mengaku tidak beragama justru akan mendatangkan banyak masalah, sebab agama adalah identitas. Seseorang tanpa agama seperti seseorang tanpa nama. Mengenai apakah agama itu dijalankan dengan benar, biasanya tidak menjadi masalah.
Dari obrolan itu, mengertilah Greet mengapa agama adalah salah satu hal yang pasti akan ditanyakan orang Indonesia selain umur, status pernikahan, suku dan pekerjaan.
Namun, saat di sela-sela obrolan Greet sempat menyebut Indonesia sebagai negara sekular, dan itu membuat saya sedikit tak nyaman. Barangkali tak satupun orang Indonesia, dari masa Soekarno hingga Joko Widodo, yang berani secara eksplisit mengatakan Indonesia adalah negara sekular.
Tapi begitulah. Ada kekuatan transformatif dan metaforis dalam bahasa sehingga kita percaya bahwa sebuah kata mampu menggambarkan kenyataan. Makanya saya gentar sama kata itu.
Kembali pada Greet Andersen. Beberapa hari setelah percakapan kami, ia agak terkejut melihat saya memakai kerudung. Katanya; ”Kamu muslim? Saya kira kamu tidak menganggap agama itu penting.”
Sebenarnya sih saat itu, saya cuma mau melayat ke tetangga, tapi dengan jaim dan sok inosen saya menjawab; ”Oh, saya muslim yang taat beribadah, kok” 😀
Sebab, meski saya tak menunjukkan ibadah saya pada siapa-siapa, saya tetap ogah dikatakan tak beragama.