Kadang bosan ditanya “bagaimana caranya jadi penulis produktif?” atau “bagaimana cara mengatur waktu untuk menulis?” sebab selalu ada yang ngeyel tiap kali saya menjawabnya. Saya sih nggak pernah keberatan kalau ada yang berargumen, cuma kadang argumen penanya terasa defensif. Misalnya, ya…
“Ya, kan mbak Astrid enggak kerja (kantoran) jadi bisa punya waktu buat menulis.”
“Mbak enak, anak-anaknya udah pada gede. Anak saya kan masih kecil, nggak bisa ditinggal.”
“Duh, ibu-ibu kayak aku sih udah enggak ada waktu buat menulis. Harus masak, nyuci, nyetrika, ngurus anak dan suami. Habis deh waktunya.”
Oh, argumen-argumen penuh pemakluman begitu suka bikin saya kesal setengah mati. Lah, memangnya saya enggak harus beresin rumah, masak, nyuci dan nyetrika? Memangnya suami dan anak-anak saya diurus perempuan lain? Memangnya saya nggak pernah ngantor? Memangnya…memangnya…
Dan, komentar yang paling bikin saya meradang berasal dari seorang kawan di FB. Ia menulis ingin menjadi istri shalihah yang rela mengorbankan impian sebagai penulis demi kebahagiaan suami dan anak-anaknya.
Duh! Komentar kawan itu mendadak membuat saya merasa diadili sebagi si egois pengejar mimpi yang mengabaikan keluarga demi profesi penulis. Barangkali sayanya aja yang baper, sebab bisa saja komentarnya benar-benar ekspresi pemikirannya. Tapi, itulah jeleknya medsos, kadang kita terlalu sensitif meresponsnya.
Banyak yang membayangkan bahwa kehidupan seorang penulis melulu di depan laptop. Barangkali ini stereotipe yang dibangun sejak dulu. Zaman kecil, saya juga membayangkan penulis itu identik dengan mesin ketik, kopi bergelas-gelas, rokok berbatang-batang, duduk berpikir berjam-jam, meringkuk di ruang sempit penuh asap rokok.
Nyatanya, setiap pagi saya sudah ribet dengan persiapan sekolah. Membuat sarapan, menyiapkan bekal, dan kadang-kadang masih disela dengan drama pagi semacam seragam belum disetrika atau kaos kaki lenyap sebelah. Setelah anak dan suami berangkat, seperti ibu rumah tangga lainnya, setumpuk pekerjaan rumah menunggu dikerjakan.
Siangnya saya bertugas menjemput anak-anak pulang sekolah. Mereka belajar di sekolah negeri, bukan swasta full day. Selesai? Tidak. Sebab masih ada jadwal mengantar les, taekwondo, latihan futsal, renang dan mengaji. Nggak ada pembantu atau sopir, semua saya kerjakan sendiri.
Lantas, kapan menulisnya?
Saya menulis di pagi hari, sebab lebih fresh. Setelah pekerjaan rumah selesai, biasanya saya ada waktu dua-tiga jam sebelum menjemput anak-anak. Waktu lain adalah malam hari, mulai sekitar jam 8 setelah anak-anak masuk kamar tidur. Nah, saat saya tanya-tanya, pada jam-jam saya menulis itulah, teman-teman yang tadi berargumen lebih memilih menghabiskan waktunya untuk menatap kotak ajaib penyedia beragam hiburan.
Saya tak senang menonton sinetron lokal, sinetron India, sinetron Turki, dan semua sinteron dengan naga, harimau atau vampir. Saya juga malas lihat acara joget, reality show, gosip atau kontes ini itu. Jam-jam prime time TV biasanya justru saya gunakan untuk menyelesaikan naskah, membuat konsep, draft, outline, menuliskan ide-ide yang muncul atau mencari materi referensi.
Sewaktu masih kerja kantoran, saya suka datang seperempat jam lebih pagi untuk mencoret-coret ide pada buku catatan. Pada jam makan siang yang hanya satu jam, saya gunakan juga untuk menulis satu-dua halaman. Masa cukup waktu? Cukuplah. Makan siang gak lebih dari lima belas menit kan? Yang bikin lama itu acara ngobrol dan nge-gosipnya.
Pulang kerja, habiskan waktu dengan keluarga. Bercanda, menemani bikin PR dan belajar, ngobrol dengan suami. Setelah mereka tidur, saya punya waktu beberapa jam untuk menulis. Dulu sih, saya suka begadang sampai jam satu pagi, tapi belakangan saya usahakan naik tempat tidur sekitar jam sebelas malam. Khawatir dengan risiko penyakit jantung aja sih sebab konon tidur larut malam itu salah satu pemicunya.
Tapi, pulang kerja kan capek. Mana bisa menulis? Habis ngantor kan paling enak itu leyeh-leyeh sambil fesbukan.
Lah, kalau punya waktu bukan bikin status atau balas komentar di berbagai medsos, kenapa menulis enggak? Lagipula ponsel pintar bakal mubazir kepintarannya kalau cuma buat fesbukan, instagraman atau bikin video lucu-lucuan. Ada aplikasi semacam text-to-speech yang bisa merekam suara dan langsung mengubahnya jadi teks. Kalau pun nggak punya, ponsel bisa digunakan untuk merekam ide-ide. Ucapkan saja apa yang ada dalam pikiran, besok pagi baru ditulis. Saya sering begini kok kalau sedang malas buka laptop.
Ya, tapi kan anak-anaknya mbak Astrid gampang diatur, nggak rewel dan tidurnya cepat. Anak saya, jam sebelas aja masih nonton TV, mana mau disuruh tidur. Saya kan jadi nggak bisa nulis.
Oh, dear. Ini yang mungkin nggak ketolong, sebab ini soal disiplin keluarga yang nggak bisa saya campuri. Saya sih selalu percaya bahwa anak itu enggak sulit diatur. Jika dibiasakan sejak bayi, mereka bisa kok tidur tepat waktu. Tanpa perlu disuruh sambil jerit-jerit malah. Nggak fair dong menyalahkan anak atas ketidakmampuan kita menjalankan tanggungjawab sebagai orangtua.
Manajemen waktu itu berasal dari diri sendiri. Orang lain bisa memberi saran ini dan itu, tapi kalau diri sendiri nggak berniat merancang manajemen waktu yang sesuai, ya tak perlu jadi penulis atau profesi apapun.
Saya mengumpulkan ide sepanjang hari, lantas mengeksekusinya di malam hari (atau pagi berikutnya) sembari tetap mengurus suami dan anak-anak. Memang sih, saya nggak pandai masak, tapi suami dan anak-anak tetap makan makanan rumah yang sehat. Benar di beberapa sudut rumah kadang ada sarang laba-laba atau debu tipis, tapi paling tidak lantai selalu kinclong dan ruangan nggak kayak kapal pecah.
Saya masih tetap kumpul-kumpul arisan, pengajian, dan bahkan sedikit ngegosip di bawah pohon mangga dengan ibu-ibu lain. Saya tetap ngobrol dengan suami tentang pengalaman harian, pemikiran, impian, keinginan, kegalauan, bahkan duduk berdua berjam-jam tanpa bicara, hanya saling menggenggam tangan. Dengan anak-anak, saya nge-mall, jalan-jalan ke taman dekat rumah, jajan ke minimarket atau olahraga bareng. Saya juga suka ngopi dengan sahabat, mendengarkan kisah seru dan curhatan mereka. Intinya, saya bukan penulis yang menghabiskan hari dengan menyendiri.
Nah, saya enggak beda dengan kamu kan? Kita sama-sama punya 24 jam sehari yang diisi dengan kesibukan masing-masing. Jika saya ada waktu buat menulis, kamu juga pasti punya. Tapi jangan meniru saya, sebab jam biologis itu berbeda-beda untuk setiap orang.
Jadi, cari waktu paling pas buat diri sendiri untuk menulis. Boleh pagi, siang, sore malam, tengah malam, dini hari, jelang subuh atau kapanpun. Yang jelas, sisihkan minimal 1-2 jam buat menulis. Boleh dicicil, misalnya sepuluh menit sebelum mandi lalu setengah jam sesudah makan siang.
Buat target biar semangat. Dulu, waktu mulai jadi penulis, saya menarget 1-2 halaman sehari. Sekarang, karena sudah lebih mahir, saya menarget 5 halaman sehari. Target begini membuat kita lebih termotivasi lho.
Nah, kalau menulis masih jadi hobi sih enggak perlu begini-begini amat. Namun, kalau memang sudah niat jadi penulis serius, penulis profesional, penulis produktif atau apapun namanya, mulai manajemen waktu deh supaya enggak ada lagi alasan nggak punya waktu buat menulis 🙂
Semangat menulis, ya!