Putusnya sebuah hubungan selalu menyisakan rasa tak karuan. Entah karena tak direstui ortu, kekasih berselingkuh, pacar diculik mahkluk planet atau apapun alasannya, bersedih adalah reaksi pertama yang muncul. Reaksi ini bisa berlangsung beberapa minggu, bulan atau bahkan tahunan, tergantung bagaimana kamu meresponsnya. Seringnya sih, semakin lama kita mempertahankan kesedihan, semakin kacau hari-hari yang kita jalani.
Berlama-lama mempertahankan kenangan terhadap mantan barangkali dianggap sebagai tanda ketegaran dan kesetiaan oleh sebagian orang. Namun bagaimana jika hal itu sudah nggak sehat lagi? Bagaimana jika mempertahankan perasaan justru membuatmu berubah menjadi super sensitif? Marah-marah sama diri sendiri, ngomel-ngomel mas go food yang telat antar makanan beberapa detik “Gara-gara kamu sih telat ngantar, saya jadi diputusin!” hingga menjambaki rambut sampai rontok lalu menyalahkan dan membantingi semua botol shampo di minimarket.
Pada tahap ini, kamu mungkin akan mengendalikan keadaan dan mengupayakan segala peluang agar bisa balikan lagi. Mulai dari stalking medsos-nya, atau pura-pura nanyain kabarnya ke teman-temannya. Jika tak berhasil, kamu mungkin mulai sibuk mengumbar janji-janji kayak peserta pilkada “Kalau kita balikan, saya janji enggak akan pernah pakai kostum Tinky Winki lagi saat kencan, mas,” hingga mengumbar ancaman, “Pokoknya kalau kamu nggak mau balikan lagi, saya bakal nyanyi jingle Mastin pakai toa setiap hari di depan rumahmu.”
Rayuan atau ancaman bisa saja membuat mantanmu balik. Tapi bagaimana jika tidak? Kamu mungkin akan mulai masuk ke tahap depresi. Menangis setiap kali ingat masa-masa indah berdua, merasa tak mampu move on, lantas bersimpuh di tengah hujan deras disertai kilat dan guntur, merentangkan tangan, mengadahkan kepala lalu berteriak “Kenapa kita harus putus… kenapa, Tuhan? Kenapaaaaa….” (lalu disambar petir, halah…)
Kenapa sulit banget move on dan melupakan mantan, padahal tahu bahwa semua telah selesai? Dan bagaimana seharusnya kita melewati tahap-tahap patah hati ini?
Pertama-tama sih, kita harus memahami hati (jangan ambigu dengan organ tubuh lho ya). Sekali hati kita terpaut pada seseorang, akan sangat sulit melepaskannya. Bahkan jika pun kamu tahu ia sebenarnya bukan pacar yang tepat, kamu tetap bertahan, sebab kenangannya terlalu dalam dan kuat.
Umumnya, seseorang tetap merasa lekat pada orang yang sangat ia cintai. Kelekatan ini diterima sebagai cinta, meski hubungan tersebut penuh dengan kesulitan. Cinta adalah cinta. Tak peduli apakah si dia sebenarnya cocok atau tidak dengan kita.
Dengan prejudis, saya bisa saja mengatakan bahwa orang-orang yang dibutakan oleh cinta memiliki masalah self-esteem. Tapi, rasanya kok tak sesederhana itu ya? Saya masih yakin setiap orang memiliki kapasitas untuk mencintai seseorang dengan amat dalam. Feel deep love. Ketika perasaan cinta yang dalam ini berubah menjadi cinta tanpa syarat, kita akan cenderung tidak melihat keburukan pasangan. Bagi kita, ia begitu sempurna.
Kondisi inilah yang membuat melepaskan sang mantan menjadi begitu sulit. Untungnya, manusia dilengkapi dengan sistem pertahanan diri, yaitu keikhlasan. Cuma, aktivasi sistem ini memang berbeda-beda pada setiap orang, ada yang cepat ada yang lama. Dan itu semata-mata pilihan.
Tahap berduka ketika kehilangan orang yang kita cintai memang harus dilampaui, sebab jika kamu skip, tak ada pelajaran berguna yang bisa kamu ambil dari pengalaman patah hati. Ketika merasa sangat kacau karena kandasnya sebuah hubungan, lalui saja tahap berdukanya, lantas berdamai dengan diri sendiri. Hanya dengan cara itu kamu bisa membuat pertukaran antara kehilangan dan mendapatkan (yang baru) terjadi.