Pride was stabbed. Hope was cut. This is called radicalism. It chooses a complete breakdown over compromise. It is also determine to use the most horrendous forms of violence and to go through the most horrific suffering.
—
(Potongan percakapan dengan kenalan baru di ruang tunggu Bandara.)
Dia : Mbak kan penulis ya, harusnya banyak nulis tentang Palestina lho, Mbak.
Saya : Oya? Kenapa harus?
Dia : Ya, buat menunjukkan kepedulian Mbak terhadap penindasan bangsa Palestinalah.
Saya diam dalam senyum.
Dia : Mbak Islam, kan? Sesama orang Islam kan harus saling peduli, Mbak. Kita tuh harus membantu rakyat Palestina dari pembinasaan anjing israel.
Dia lagi; Saya mau ikut demonya di Kedubes Amrik. Kita mau menegaskan sikap kita sama Israel. Kalau perlu mengusir Israel dari Palestina.
Lagi-lagi dia; Bahkan kalau enggak dilarang keluarga, saya pasti udah ke sana, Mbak. Mau berjihad … sayang dilarang sama bapak. Ya … saya sih gak enak aja sama ortu, takut kualat.
Saya (masih) diam dalam senyum.
Dia : Kok diem aja sih, Mbak? Ayo dong ikut menyuarakan kepedulian Mbak terhadap kaum yang tertindas, jangan egois mikirin diri sendiri, gitu!
Saya (mulai dongkol); Sudah kok. Tadi pagi saya transfer 10 juta buat menyumbang obat-obatan ke Palestina.
Dia diam dalam senyum. Lalu beralih mengecek IG pada ponselnya.
(Akhir dari obrolan)
—
Keheningan membuat saya menyesal telah membohonginya tentang transfer bantuan. Persoalannya saya tiba-tiba agak sebal dikatakan memikirkan diri sendiri. Harusnya saya paham dengan siapa saya bicara. Ia, mahasiswa tingkat dua yang hanya mencoba menghilangkan kebosanan dengan mencari lawan bicara. Kebetulan saya duduk di sebelahnya, maka ia pun memilih saya. Barangkali sebenarnya saya tak marah dengan ucapannya, tapi semangat masa mudanya sedikit mengganggu saya.
Tentu saya ingin menulis pendapat saya mengenai situasi Palestina, cuma saya memang tak paham. Lagipula telah banyak orang hebat menulis tentang topik ini, kalau saya menulis juga mungkin tulisan saya lebih mirip remahan rempeyek.
Demonstrasi-demonstrasi yang saya lihat di tv membuat saya teringat pada situasi mirip sekitar tahun 2000 lalu. Waktu itu Amerika dianggap mendukung habis-habisan Israel dalam konflik Palestina. Kebencian terhadap sikap AS mengental dengan ancaman bom di kedutaan Amrik, juga sweeping terhadap warga AS di beberapa kota di Indonesia oleh ormas-ormas Islam.
Menarik melihat bagaimana sebuah kepedulian disampaikan. Entah lewat unjuk rasa, ancaman, aksi anarkis atau pemberian sumbangan. Di titik ini, saya mulai berpikir barangkali saya memang egois dan gak pedulian seperti kata mahasiswa itu. Sebab saya ogah kalau harus berperang jihad seperti keinginan anak muda itu. Selain nggak punya keahlian militer, saya hanya akan merepotkan orang-orang di sana. Saya bakal menjerit-jerit histeris melihat korban berjatuhan, bahkan mungkin pingsan atau minta pulang.
Barangkali saya memang egois dan gak pedulian seperti kata mahasiswa itu. Sebab saya tidak seperti mereka yang mampu mencaci maki atau berserapah atas nama agama. Saya juga emoh berpanas-panas di jalan raya buat berunjuk rasa, dan lantas membakari bendera Israel dan poster Presiden Trump.
Dalam pikiran egois saya, sebetulnya tak banyak yang bisa dilakukan buat menyelesaikan konflik ini, meski itu adalah badan dunia sebesar PBB. Saya ingat ayah saya sudah bercerita tentang konflik Israel-Palestina sejak saya masih SD. Ini adalah persoalan lama yang barangkali cuma bisa diselesaikan oleh kedua bangsa itu sendiri. Lainnya – jika satu kata – bisa mendorong ke arah perdamaian dan rekonsiliasi.
Saya tak punya kemampuan buat mendorong bangsa lain untuk berdamai. Beberapa teman yang bekerja pada organisasi internasional meyakinkan bahwa saya bisa membantu lewat sejumlah uang untuk pembelian obat-obatan dan peralatan medis untuk menjamin kesehatan anak-anak di sana. Dan saya tertarik, lantas setuju membantu.
Cuma memang jumlah sumbangan saya bukan 10 juta seperti kebohongan barusan, sebab bagaimanapun saya masih proletar 🙂