Sebagai penulis dan (beberapa kali menjadi) pembicara dalam forum-forum literasi, saya kerap mendapatkan pertanyaan atau komentar mengenai “kematian buku cetak” dan/atau “gelapnya masa depan industri penerbitan/percetakan.” Concern macam ini memang membuat miris, tapi salah juga jika mengabaikannya.

Kita adalah generasi yang kesurupan teknologi. Di rumah, di tempat kerja, di jalan, di tempat umum, di mana pun, hampir tidak ada orang yang tidak sedang menatap gawainya dan abai dengan dunia di sekitar. Ditambah lagi, para orang tua masa kini yang senang memberikan gawai kepada anak-anaknya agar mereka tenang. Belum lagi kecenderungan orang-orang berbelanja online agar tidak perlu lagi meninggalkan kenyamanan berbaring sofa atau repot-repot berkontak dengan manusia lain. Kita sendiri bahkan menghabiskan waktu berjam-jam terpaku pada komputer, melupakan semua yang ada.

Baca juga: Cara Penulis Berinteraksi dengan Pembaca

Tentunya, hal-hal demikian tersebut tidak selalu buruk. Pasti ada hal-hal positif  dari perubahan-perubahan yang sedang dan terus berlangsung. Walau begitu, penting bagi setiap orang, khususnya penulis, untuk selalu aware dan smart dalam menghadapi era digital.

Digitalisasi konten telah mengguncang fondasi ekonomi industri penerbitan, industri musik dan video. Berkenaan dengan penerbitan dan percetakan, perubahan tersebut bisa dilihat dari dua sisi, yakni sebagai terobosan atau sebagai bencana. Ketika penjualan dan distribusi buku cetak turun, semakin banyak publikasi memotong biaya dengan cara berpindah ke online. Sementara media online semakin mudah dinavigasi, semakin interaktif dan konstan, muncul masalah berupa berkurangnya pendapatan penulis. Pertanyaan besar yang perlu dijawab di masa depan adalah siapa yang akan membayar penulis dan bagaimana caranya?

Sepanjang tahun 2020, kita menyaksikan menyusutnya penjualan buku, menyaksikan bangkrutnya toko-toko buku, dan memperhatikan bahwa perpustakaan-perpustakaan mulai berfokus untuk mengembangkan media digital. Apa artinya ini semua bagi calon penulis yang berharap bisa melihat karya-karya mereka dalam bentuk buku di masa depan?

Setiap kali membaca blog, artikel-artikel di media, diskusi literasi, atau mengunjungi toko buku, saya sering mendengar sejumlah silang pendapat mengenai masa depan penerbitan buku – yang semuanya membuat saya bingung. Ada yang mengatakan bahwa industri penerbitan akan segera mati sebab tidak ada lagi yang membaca buku. Di sisi lain, ada yang bersikeras bahwa literasi meningkat dan orang tetap akan membaca buku. Sebagian ada yang meyakini bahwa penerbitan cetak sudah tidak lagi relevan dengan kemajuan zaman. Bingung, kan?

Barangkali, tetap akan ada orang yang ingin membaca buku, tapi dalam beberapa hal, buku cetak tidak lagi menjadi sistem penyampaian yang terbaik bagi pembaca. Di negara-negara maju, e-book sudah mulai membayangi format buku cetak sebagai pilihan yang disukai pembaca, melampaui penjualan buku cetak pada tahun 2011-2012. Meskipun penjualan buku cetak masih menjadi jalur terbesar untuk penerbit, tapi semakin lama pamornya semakin menurun.

Berkembang di Masa Digital

Kabar baiknya adalah kemajuan teknologi memungkinkan hampir semua orang yang memiliki komputer dan internet bisa menjadi penulis dan menerbitkan buku. Menjadi penulis itu sekarang sesederhana mengetik gagasan di layar laptop dan kemudian mengklik tombol posting atau mengirim karya melalui email ke publikasi online. Calon penulis sekarang memiliki platform ekstra untuk memamerkan dan memasarkan karya mereka melalui blog, website, aplikasi buku digital, dan media sosial. Digitalisasi industri percetakan mempertinggi tingkat keterpaparan bagi penulis baru. Sementara itu, pembuatan situs web serta jejaring sosial bagi pembaca tidak hanya merangsang permintaan penerbitan, tetapi juga membangun tautan langsung ke konsumen.

Tidak peduli kamu penulis seperti apa, penting untuk menampilkan karya dan namamu.

Mulailah dengan portofolio online sesegera mungkin, dan pastikan hasil karyamu berkualitas tinggi. Jika ingin menulis secara profesional, memiliki beragam jenis karya sebagai rujukan akan memberikan dampak yang ajaib.

Baca juga: 9 Cara Agar Tetap Termotivasi Menulis Buku

Secara umum, jelas ada banyak perubahan yang terjadi di industri penerbitan dan percetakan, juga banyak perdebatan mengenai ‘matinya industri penerbitan/percetakan’. Saya mencoba untuk tidak melihatnya seperti itu, sebab saya melihat pembaca cenderung membaca lebih banyak jika dilengkapi dengan pembacaan digital dan sebagian besar bersedia membayar untuk membaca e-book. Ini sebenarnya merupakan berita bagus bagi penulis yang sudah, atau berencana untuk menerbitkan buku digital.

Di masa depan, saya kira 15 sampai 25 persen penjualan buku akan dilakukan dalam format digital. Penerbitan online berpotensi menjangkau jutaan orang di seluruh dunia dan menjangkau audiens baru sehingga menempatkan penulis pada posisi yang ideal untuk memanfaatkan era digital.

Menulis Dan Menerbitkan Secara Digital; Lebih Banyak Peluang Atau Risiko?

Meskipun pemikiran penerbitan digital mungkin tampak sedikit menakutkan, pada kenyataannya, jalur penerbitan digital tidak lebih sederhana daripada jalur penerbitan tradisional.

Penulis harus tetap mengetahui niche pembacanya, membangun branding, menjalin network, menghadapi penolakan, dan terus meriset serta menulis. Ini adalah hal-hal yang akan membuat mereka sukses sebagai penulis di dunia digital.

Romantisasi Penerbitan Buku Cetak

Terlepas dari pandangan pesimis seputar industri penerbitan buku cetak, kita selalu punya harapan  bahwa e-book dan buku cetak dapat berbagi masa depan yang cerah bersama. E-book dapat memenuhi kenyamanan, pemilihan, portabilitas dan multimedia, tetapi tetap ada beberapa kualitas fundamental yang tidak akan pernah dimilikinya. Meski akan selalu ada kesenjangan digital, ada orang yang akan tetap menghargai pengalaman memegang buku, mencium aroma kertas, menandai halaman-halamannya dengan stabilo, dan memajangnya di rak ruang keluarga. Selama masih ada romantisasi semacam ini, maka pasar buku cetak tetap akan ada..

Para pecinta buku mengatakan bahwa hasrat membaca buku cetak tidak akan pernah benar-benar mati. Revolusi digital jelas telah memisahkan antara bentuk dan konten, tetapi orang-orang akan selalu menghargai karya seni berupa buku fisik. Meskipun generasi sekarang lebih menyukai eBook dan membaca online secara instan, saya tetap merasa sulit membayangkan dunia tempat orang-orang tidak menginginkan buku fisik berjajar rapi di rak-rak buku di rumah mereka atau memberi hadiah berupa buku cetak kepada orang-orang yang dicintai.

Penjualan buku cetak mungkin menurun karena era digital, tapi itu tidak akan ‘mati’.

Buku, apapun bentuknya, bukan sekadar jalinan kata-kata di halaman kertas atau layar tablet/monitor, akan tetapi juga merupakan benda yang sangat romantis. Saya tetap berpegang pada hal itu, bahwa baik buku cetak maupun e-book, tetap dibutuhkan dan bisa berjalan berdampingan. Menurut saya sih 🙂

Leave a Reply

Your email address will not be published.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.