Saya penyuka t-shirt polos.
Jarang sekali saya mengenakan t-shirt bergambar dan/atau bertulisan, baik di bagian dada maupun punggung. Tentu saya punya beberapa t-shirt semacam itu.
Biasanya pemberian, seragam reuni atau beli karena ada teman yang berjualan (dan saya terlalu kasihan untuk menampik). Itupun saya pilih-pilih banget tulisannya, harus bermakna dan gambar atau grafisnya gak bikin sakit mata. Jika kainnya enak, saya buat jadi baju tidur. Jika terlalu kaku, biasanya saya simpan saja di lemari sampai ada yang mau diberi.
Ketika pabrik kaos semacam Joger di Bali dan Dagadu di Jogja sedang naik daun, saya termasuk yang ogah beli. Entah kenapa, walau saya akui tulisannya lucu-lucu dan bagus, saya tak pernah nyaman. Barangkali saya risih jika orang lain “lihat-lihat” pakaian saya, bisa juga karena memang saya lebih memilih untuk “tidak terlihat”.
Itu kenapa saya tak pernah tertarik membeli t-shirt semacam itu, baik atas nama solidaritas, menyokong kepentingan tertentu, iklan atau biar terlihat beda. Buat saya, kaos-kaos sejenis terlalu ekslusif.
Tapi saya paham, buat sebagian orang t-shirt dengan gambar, warna atau tulisan tertentu adalah identitas. Sayangnya, beberapa orang merasa sah-sah saja bertingkah konyol ketika mengenakan t-shirt demikian.
Saya miris lihat video pendek dari acara Car Free Day yang viral di media sosial sejak kemarin. Sebuah kelompok mengenakan t-shirt tertentu mencoba mengintimidasi pihak lain yang memakai t-shirt berbeda. Dalam video tersebut, pihak yang ditekan diwakili oleh seorang ibu.
Sebab hanya melihat dari video, saya tak benar-benar tahu awal mula dan bagaimana hal itu terjadi, dan oleh karenanya saya tak merasa berhak untuk men-judge siapa salah dan siapa benar. Saya cuma sedih, terutama pada anak sang ibu yang kelihatan tak nyaman. Kebayang bagaimana traumanya dia.
Entitas ekslusif dari sebuah kelompok berdasarkan grafis dan warna kaos. Kedua pihak merasa benar, merasa punya kepentingan, dan kemudian salah satunya (atau mungkin dua-duanya, saya gak tau) merasa boleh berbuat seenak udelnya.
Begitulah, ekslusifitas membuat saya merasa ngeri jika harus berkaos dengan tulisan atau gambar. Saya tak ingin mengenakan sesuatu yang bersifat “seragam” – rasanya kurang berbaur, dan menjadi terlalu berlebihan.
Tentu saya tidak akan protes jika ada teman yang memiliki pendapat beda, sebab pakaian adalah soal preferensi, atau keharusan pada saat tertentu. Misalnya, mau tak mau, pada pertandingan sepak bola, pemainnya tentu harus mengenakan t-shirt sebagai atribut tim.
Bicara tentang kaos bola, saya kerap terpesona melihat bagian ritual di akhir pertandingan saat para pemain kedua tim bertukar kaos. Kadang saya penasaran apakah Cristiano Ronaldo pernah terinfeksi penyakit kulit.
Namun saya kira campuran keringat dan odor bukan masalah, sebab bertukar kaos adalah hal yang sangat simbolis. Kedua tim adalah gatra yang ekslusif berdasarkan tulisan dan warna kaosnya. Suporter kedua tim boleh saja berseteru, tapi kompetisi hanya terjadi di lapangan. Gak ada jaminan bahwa suatu hari Neymar dan Lionel Messi tidak akan bertanding dengan balutan kaos berwarna dan bertulisan sama, bukan?
Dan begitulah barang sepele bernama kaos, oblong, atau T-shirt. Ia adalah lambang pembeda sekaligus pemersatu. Warna, tulisan atau gambarnya adalah yang menyatukan sebuah kelompok sekaligus membedakannya dengan kelompok lain. Ia lambang dari sebuah loyalitas, bahkan pernyataan politik. Namun biasanya setelah euforia selesai, kaos hanyalah pakaian.
Saya ingat jelang pemilu lalu. Pendukung capres tertentu bisa berantem dengan mengerikan di media sosial, dan partisipan partainya bisa gontok-gontokkan di jalan saat kampanye bermotor, terutama saat melihat kaos pendukung saingan dipakai.
Menarik bahwa setelah masa-masa sensitif itu berakhir, oblong tak lagi menjadi pernyataan politik. Ia hanya sesuatu yang digunakan untuk menutup tubuh, dan saya melihatnya dipakai dua tukang bangunan di dekat rumah. Satu tukang memakai t-shirt bergambar Prabowo, dan satunya lagi Joko Widodo. Saat kedua tukang itu duduk berjejer istirahat makan siang, entah mengapa, saya bisa melihat humor dari kaos-kaos oblong mereka.