#28harimenulistentangcinta
“Astrid, kenapa cowok berselingkuh?” tanya seorang kawan perempuan pada suatu siang. Pertanyaan yang membuat saya gelagapan tak bisa menjawab dan akhirnya kepikiran seharian.
Entahlah, saya kok merasa satu-satunya cara menjaga agar cowok nggak selingkuh adalah dengan menciptakan relationship yang baik. Menurut saya, rasa bersalah menyakiti pasangan bisa lebih kuat buat “menahan” cowok agar tak selingkuh dibandingkan takut putus, dikucilkan teman dan keluarga, atau tertular penyakit mematikan.
Persoalannya, pemikiran saya sudah kuno. Sebab, bahkan pernikahan atau hubungan pacaran yang baik-baik saja ternyata tak mampu menahan pria untuk selingkuh. Ia barangkali bertemu teman lama, atau mantannya, lalu kewalahan dengan segala nostalgia di antara mereka. Bisa juga seorang yang belum lama dikenalnya lantas chemistry di antara keduanya memercik. Ia mulai suka menghabiskan waktu dengan orang ini dan mencari jalan untuk bertemu dengannya. Mengirimi pesan teks, menelpon atau ngobrol di media chatting. Semua atas nama persahabatan.
Angin segar itu awalnya berembus sepoi-sepoi dalam kehidupan asmaranya, dan kemudian tiba-tiba ia menemukan dirinya telah jatuh ke dalam sebuah hubungan yang dapat mengubah dunia pasangannya menjadi kocar-kacir. Pria mulai mengabaikan pasangannya, tak lagi punya waktu untuknya dan tiba-tiba kehilangan ketertarikan.
Sebab ‘persahabatan’ dengan perempuan lain telanjur mekar dan membuatnya sesak nafas akibat dorongan adrenalin yang tak terkendali. Dalam hati, ia tahu persis bahwa yang dilakukannya salah, tapi menolak menerima. Mengendalikan perasaan tampaknya tidak mungkin, sehingga meski merasa bersalah, pria terus melanjutkan hubungan tersebut.
Berselingkuh memang seperti adiksi. Kecanduan. Kita tahu itu salah, tapi kita menyukainya, sebab ia memuaskan kebutuhan. Misanya, jika pria merasa perlu terus mengasah kecerdasan dan pasangannya tak mampu memenuhi, ia mungkin akan menjadi tertarik pada seseorang yang intelek dan dapat memuaskan kebutuhan mentalnya itu.
Setiap pesan teks, sependek apapun, dan setiap percakapan serta pertemuan menjadi begitu istimewa, walau paham hubungan tersebut tidak akan ke mana-mana. Ia, secara fisik dan emosional, butuh bertemu selingkuhannya dan sangat sulit berhenti. Sebab berhenti artinya melepaskan diri dari kebutuhan. Pria tak siap merasakan kekosongan jika kehilangan hal tersebut. Inilah yang membuat perselingkuhan tak mampu ia hentikan.
Tapi sebentar. Bukankah hal-hal yang saya tulis di atas menjadi seperti pembenaran? Bahwa pria berselingkuh sebab pasangannya tak mampu memenuhi kebutuhannya? Apa itu artinya bude-bude saya yang ceriwis itu benar, bahwa jika istri dicerai, itu artinya ia nggak becus mengurus suaminya?
Oh, tentu saja bukan itu yang saya maksud. Saya masih yakin, gender bisa setara. Pria dan wanita bisa menjadi mitra sejajar, bukan saling mendominasi. Namun saya juga yakin bahwa pria lahir dengan sifat sebagai pemburu. Itu berlaku dari zaman pra sejarah hingga hari ini. Ia memburu apa yang ia anggap memenuhi kebutuhannya.
Dari jutaan alasan yang ada, alasan teratas seorang pria berselingkuh adalah aspek hubungan seksual yang bermasalah. Ia barangkali tak lagi berminat main seks dengan pasangannya, atau bosan dengan seks yang repetitif. Dan ini bukan kesalahan pasangannya. Ketika sensasi seks berkurang, itu adalah kesalahan mereka berdua sebagai pasangan. Jeleknya, ketika pria mulai bosan, libidonya justru menuntut lebih.
Alasan lain yang bisa saya pikirkan adalah pria berselingkuh karena ada kesempatan – dan dia mengambilnya. Rekan kerja, teman Facebook atau orang yang baru dikenal di suatu acara dapat saja membuatnya merasa seperti ‘seseorang yang baru’ atau menjadi ‘seseorang yang diinginkan.’ Ia lantas merasa hebat dan berharga lagi. Jika kebanggaan ini kemudian menyumpal moral, ia akan merusak hubungan dengan pasangannya. Selamanya.
Di luar kedua alasan tadi, pria juga barangkali akan berselingkuh ketika merasa dirinya mengalami kekacauan emosional. Bisa karena argumen pahit dengan pasangan atau hal-hal lain. Pria seringkali menyelesaikan gejolak emosi melalui cara-cara destruktif seperti minum alkohol, mengonsumi obat-obatan, melakukan kekerasan dan seks terlarang. Pria cenderung akan melakukan apa pun agar rasa sakitnya pergi, dan seks adalah yang paling efektif serta efisien.
Lumayan rumit memang, sebab bagian otak pria yang memikirkan seks itu luas. Seorang kawan bilang, pada saat bersamaan pria hanya bisa menggunakan salah satu, entah otak atau penisnya. Kawan lain mengatakan bahwa pria memikirkan seks setiap tujuh detik. Itu setara dengan 8000 kali sehari! Entah dia dapat data dari mana 😀
Jika seks dan kebutuhan mental yang tak terpenuhi membuat pria berselingkuh, lantas apa dong yang mendorong seorang wanita melakukan hal sama? Saya tulis di postingan berikutnya ya, udah ngantuk soalnya 🙂