#28harimenulistentangcinta
Seumur hidup, saya hanya dua kali berpacar. Sekali saat SMA, dan satu lagi ketika kuliah. Dari kedua pacar itu, tak pernah saya mendapatkan pengalaman hari Valentine. Tak satu pun dari mereka pernah mengatakan “Will you be my Valentine?” Juga tak pernah ada candle light dinner, kartu ucapan penuh simbol hati, kiriman coklat atau bunga.
Coklat, saya nggak keberatan nggak dikasih, sebab memang nggak doyan. Tapi bunga? Kadang kepingin juga sih dikirimi. Pacar terakhir yang kemudian saya nikahi, pernah membelikan satu buket mawar merah. Itu dilakukannya hanya satu kali dalam dua puluh empat tahun kami bersama. Lucunya, saya tak merasa terharu atau berbunga-bunga ketika menerimanya. Biasa saja.
Sebab saya tahu, dia hanya sedang menuruti keinginan saya, menyenangkan saya. Memberikan bunga atau hadiah bukanlah gayanya, dan ia tak pernah menjadi diri sendiri saat melakukannya.
Buatnya cinta adalah apa yang dilakukan, bukan dikatakan.
Oh, tentu saja saya akan melayang ke langit ketujuh ketika seorang pria memuji saya cantik, pintar atau seksi. Siapa sih yang tidak? Apalagi jika yang mengatakan seganteng Keanu Reeves atau se-hot Adam Levine. Tak ada yang lebih membuat seorang perempuan meleleh daripada sebuah pujian dari orang yang sangat disukainya.
Saya pun begitu. Ge-er setengah mati jika ada yang memuji, lantas lemah iman. Beruntung saya memiliki intuisi yang amat kuat sehingga bisa mengetahui mana pujian tulus dan mana yang tidak. Ketika masih bekerja sebagai pengajar bahasa para ekspatriat, saya berlatih untuk menangani pujian-pujian semacam ini. Sebab, lelaki asing lebih mudah menyampaikan pujian. Selain itu, respons mereka umumnya lebih “menenangkan” bagi perempuan.
Misalnya, ketika saya cerita pada teman lelaki bahwa berat saya turun beberapa kilo setelah sakit dan terlihat kurus, responsnya adalah “Iya, kamu makin kurus aja. Hati-hati lho, ntar tinggal tulang doang.” Sementara, pada cerita yang sama, seorang kawan bule berkomentar “But you look sexy!” Saya tahu dia bohong, tapi paling tidak komentarnya membuat saya tak khawatir lagi.
Bukan berarti kawan bule itu lebih romantis dan teman lelaki saya tidak. Mereka hanya memiliki cara berbeda untuk merespons kekhawatiran saya. Bukankah sikap dan perilaku seseorang amat ditentukan oleh bagaimana ia dibesarkan?
Saya dibesarkan dalam keluarga yang menganggap hari-hari istimewa merupakan waktu paling tepat untuk mengungkapkan perasaan. Cinta dan sayang lebih sering diperlihatkan saat ulang tahun, wedding anniversary, hari Valentine, hari ibu, dan sebagainya. Kue, kartu ucapan dan hadiah merupakan alat-alat wajib untuk mengungkapkan kasih sayang di antara kami saat kecil.
Otomatis, saya memiliki mindset de facto bahwa begitulah cara seorang wanita diperlakukan pada hari istimewa. Tak pernah saya mempertanyakannnya. Akibatnya, saya sempat marah ketika pacar (yang kemudian jadi suami) tak memberikan ucapan, hadiah atau perlakuan khusus pada hari-hari tersebut.
Bukan berarti dia tak baik, pelit atau egois. Ia hanya dibesarkan dengan cara berbeda. Di keluarganya, cinta dan kasih sayang tidak diungkapkan melalui alat, tapi perhatian tanpa pamrih setiap saat. Dan itulah yang ia lakukan sejak kami mulai pedekate.
Padanya, saya belajar bahwa romantisme bukanlah sesuatu yang harus ditunjukkan secara demonstratif. Romantisme adalah rasa, dan rasa adalah milik hati. Hatilah yang menilai kedalaman cinta lewat hal-hal tak terucap, yang tak pernah berhenti dilakukan.
Mencium kening sebelum berangkat kerja, mengirim pesan teks setiap beberapa jam, menanyakan perasaan saya hari itu sebelum tidur, menemani lembur meski sambil menahan kantuk, atau sekedar saling menggenggam tangan saat berjalan merupakan bentuk romantisme yang ia lakukan pada saya. Biasa saja memang, dan mungkin banyak pria yang begitu pada pasangannya.
Yang istimewa buat saya adalah, hal-hal kecil itu ia lakukan setiap hari tanpa pernah berhenti, bahkan dalam keadaan marah sekalipun.
Dan darinya, saya mulai belajar untuk tidak mengharapkan romantisme – jika romantis berarti mengirimi coklat, bunga, puisi cinta, candle light dinner, cruising naik kapal pesiar menikmati kelap-kelip lampu kota, atau diajak naik helikopter ala film The 50 Shades of Grey. Buat saya romantisme semacam ini superfisial banget.
Tapi di luar itu, barangkali saya menjadi tak otomatis romantis sebab sisi skeptis saya meyakini bahwa tak ada cowok yang benar-benar romantis tanpa mengharapkan seks. Romantisme mereka menghilang begitu mendapatkan keinginannya. No hard feelings, my male friends 😀