Bagaimana Covid-19 memengaruhi industri penerbitan, di Indonesia dan di seluruh dunia? Pandemi Covid-19 telah memberi dampak pada cara penulis menulis, cara editor menginginkan sebuah buku terbit, dan juga bagaimana buku dijual.
Saya ingat tahun lalu, di awal-awal pandemi mulai, ada sebuah meme berbahasa Inggris yang viral di komunitas penulisan. Meme tersebut mengklaim bahwa Shakespeare menulis drama luar biasa berjudul “King Lear” selama masa karantina akibat wabah Pes (bubonic plaque) abad ke-17. Apa yang tidak tersurat dalam meme tersebut (dan sebetulnya penting diketahui para penulis) adalah bagaimana komunitas teater pada masa itu berubah pada saat Shakespeare harus stay at home. Apakah para pecinta teater menderita karena harus menatap dinding kosong selama berbulan-bulan? Kan belum ada Netflix 😀 , dan apakah tema-tema seperti wabah membikin muak seperti … saat ini?
Tahun 2021 seolah menjadi titik awal bagi banyak negara untuk memulihkan diri. Tahun ini juga, dunia penerbitan barangkali menghadapi pertanyaan serupa dengan yang muncul di masa Shakespeare. Pandemi, mau tidak mau, memberikan dampak abadi pada penulis, editor, penerbit, dan pembaca. Akan seperti apakah industri penerbitan masa depan? Beberapa kemungkinan saya rangkum dari banyak sumber, ditambah dengan sedikit pendapat pribadi, dan asumsinya begini:
Buku Bertema Pandemi, Yay or Nay?
Fakta penerbitan: penjualan buku-buku bertema mental health issues dan novel-novel romansa/thriller/horor meningkat selama masa-masa sulit. Ketika hidup menjadi tidak pasti, kebanyakan orang menginginkan sesuatu yang bisa mengalihkan perhatian, bukan malah mengingatkan tentang hal-hal tidak menyenangkan yang terjadi dalam hidupnya. Pertanyaannya adalah berapa lama tren ini bertahan? Bisakah buku-buku dengan tema pandemi menjadi sesuatu yang ingin dibaca banyak orang saat ini atau justru satu dekade lagi?
Baca juga: Tetap Produktif Menulis di Masa Pandemi
Sejarah menunjukkan, buku-buku terbaik tentang gerakan komunisme di Indonesia, letusan Krakatau atau Tambora, dan sebagainya, akan menarik minat pembaca bertahun-tahun setelah peristiwa itu berlalu. Manusia membutuhkan ruang untuk memproses dan berdamai dengan diri sendiri, dan hal ini mungkin butuh waktu sangat lama. Dampak dari pandemi terus berlangsung beberapa bulan setelah virus diketahui menyebar. Mayoritas dari kita belum siap membaca fiksi atau nonfiksi yang berfokus pada tema Covid-19.
Sebagian besar pembaca menginginkan distraksi yang menyenangkan. Mereka ingin membaca buku-buku yang ‘ringan’ bagi rentang perhatian kolektif mereka yang sangat pendek. Mereka menginginkan buku yang tidak terlalu banyak menuntut pemikiran dan emosi.
Setiap kita menghadapi kematian, masalah keuangan, dan rasa tidak aman dalam pekerjaan dalam kehidupan nyata, sehingga tidak ingin membaca tentang hal-hal tersebut dari novel atau nonfiksi. Kita cenderung mencari hal-hal yang bisa memisahkan diri kita dari situasi buruk yang berlangsung di sekitar. Banyak orang mencari sesuatu yang bisa membuat mereka lari atau rehat dari keadaan nyata, bahkan jika itu hanya untuk beberapa jam.
Baca juga: In Memoriam of a Good Friend, Rudolf Valentino
Saya sendiri pun begitu. Saat ini saya memiliki mindset bahwa saya tidak ingin menulis, membaca, menonton atau mendengar apa pun tentang pandemi, lock down, dan penjarakan sosial. Saya ingin melarikan diri dengan mencari sesuatu yang ringan dan magical dengan tulisan-tulisan saya sekarang, dan bahkan pilihan bacaan saya mulai condong ke bacaan fantasi atau humor. Saya berasumsi banyak pembaca yang juga merasakan hal yang sama, jadi saya tidak heran melihat banyak buku dalam dua hingga tiga tahun ke depan yang lebih didasarkan pada humor dan imajinasi.
Tapi, tentu saja ada penulis yang tetap ingin atau perlu menulis tentang pandemi
Penulis, sama seperti semua orang selama masa karantina, perlu makan makanan bergizi, stay at home dan menghabiskan waktu nonton Netflix, dan menjalankan protokol kesehatan. Namun akhirnya, mereka pasti merasakan godaan itu; menulis tentang pandemi.
Penulis memproses sesuatu melalui kata-kata. Simbolisme, ukuran, dan alegori membantu penulis memahami apa yang membuatnya bingung. Bagi kebanyakan penulis, tidak ada masalah global yang lebih membingungkan, lebih menantang, atau lebih membuat frustasi dalam ingatan saat ini daripada masalah pandemi.
Saya sendiri sedang menyiapkan sebuah novel romansa yang (mudah-mudahan bisa) terbit tahun ini. Dalam novel itu saya membahas virus corona dan dampaknya pada beberapa aspek seperti keadilan sosial dan penindasan terhadap kaum marjinal, serta dampak buruk virus ini terhadap keluarga berpenghasilan rendah. Barangkali penulisan cerita yang secara eksplisit menggunakan setting tahun 2020 memang harus mempertimbangkan apakah akan menyertakan wabah atau tidak.
Saya yakin, industri penerbitan buku juga mengantisipasi tema-tema demikian. Mungkin naskah-naskah yang menyertakan elemen distopia yang melibatkan kedekatan akan meningkat. Saya juga yakin beberapa penulis saat ini sedang menyiapkan tulisan tentang seorang protagonis perempuan yang dikarantina bersama dengan laki-laki yang dianggapnya musuh bebuyutan. Sebenarnya, sebagai pembaca sih, saya berharap bisa membaca lebih banyak mengenai kisah-kisah kepahlawanan dalam kehidupan nyata, misalnya dengan petugas kesehatan, relawan atau penyintas Covid-19 yang menjadi pemeran utama percintaan di masa depan 😀
Pemasaran Buku Lebih Dibebankan pada Pundak Penulis
Bahkan sebelum pandemi, kebanyakan penulis melakukan marketing bagi buku-buku mereka sendiri. Banyak penerbit yang sudah melakukan ini kepada penulis – kecuali penulis papan atas, tentunya.
Saya sudah memiliki jadwal marketing buku HARI INI ATAU ESOK yang rilis pada bulan Februari 2020. Saya dan penerbit merancang beberapa kegiatan promosi dan berhasil menjalankannya hingga awal Maret. Sayangnya, kami kemudian harus membatalkan sisanya. Sedih? Tentu saja, sebab penjualan buku menurun drastis dan royalti terhambat. Namun, kemudian inspirasi muncul. Saya dan tim penerbit mencoba menjangkau pembaca dengan strategi-strategi daring, semisal berkolaborasi dengan bookstagramer, membuat serial podcast, membuat video-video di Youtube dan mengadakan giveaway.
Apa yang saya dan tim penerbit coba lakukan sebetulnya meniru acara-acara gratis dari toko-toko buku indie di luar negeri semaksimal mungkin. Karena cara konvensional tidak bisa diterapkan selama pandemi, maka cara daring menjadi cara mudah untuk terhubung dengan pembaca dan juga bagus untuk marketing dan pastinya, untuk semangat.
Di masa depan, ketika era digital sudah tidak menjadi asing lagi bagi semua orang di bumi, saya membayangkan marketing buku secara digital menjadi sesuatu yang lebih biasa. Penulis harus belajar lebih dari sekadar teknik menulis, tapi juga teknik dan strategi marketing buku-bukunya.
Penulis Lebih Produktif
Pandemi Covid-19 memberikan waktu pada beberapa orang. Waktu yang pada kehidupan “normal” barangkali sulit mereka dapatkan. Banyak orang bisa menghabiskan waktu lebih berkualitas dengan keluarga, waktu penuh untuk diri sendiri, atau waktu untuk mengasah keterampilan mereka. Bisa jadi penulis akan jauh lebih produktif dalam masa pandemi karena mereka memiliki lebih banyak waktu luang untuk duduk untuk menulis buku yang sudah lama mereka ingin tulis.
Baca juga; Apa yang Saya Pelajari Dari Tahun 2020
Meski demikian, tidak semua penulis memiliki privilese untuk menggunakan masa karantina sebagai waktu menulis. Menulis bukanlah pekerjaan penuh waktu bagi kebanyakan penulis. PHK, cuti, dan tantangan mengasuh anak di rumah mungkin membuat mereka kesulitan mendapatkan waktu untuk menulis. Di samping itu, tentu saja, semua orang juga memiliki berjuang untuk menjaga kesehatannya.
Beberapa penulis mungkin menggunakan tulisan sebagai pelepas stres luar biasa yang disebabkan oleh pandemi. Saya tahu, sulit bagi penulis untuk mengabaikan peristiwa yang terjadi di dunia sekitarnya. Beberapa orang akan mendapatkan inspirasi dalam situasi ini, dan saya juga tahu bahwa banyak dari penulis yang saya kenal menemukan penghiburan pada kenyataan bahwa mereka menulis buku yang tujuan utamanya adalah untuk mengeksplorasi perjalanan menuju akhir yang bahagia, untuk melihat hal-hal positif dalam kehidupan.
Toko Buku akan Berubah, Tapi Entah Bagaimana
Ada tiga faktor utama yang memengaruhi penjual buku selama pandemi virus corona.
- Orang-orang memilih tidak keluar rumah, apalagi untuk pergi ke toko buku.
- Toko-toko, termasuk toko buku, mengubah jam operasional selama masa karantina dan juga mempertimbangkan penjarakan sosial.
- Lonjakan pengangguran menyebabkan lebih sedikit pembelian kebutuhan diskresioner, seperti buku.
Di luar negeri, banyak toko buku yang menanggapi situasi ini dengan cara mengumpulkan dana dan meningkatkan keterlibatan pelanggan. Setidaknya dua lusin toko buku independen di Amerika Serikat meluncurkan kampanye “GoFundMe” untuk menggalang dana demi membayar sewa gedung, utilitas, dan penggajian karyawan.
Sementara toko-toko buku di Indonesia cenderung menggalakkan penggunaan media sosial untuk meminta dukungan melalui pembelian daring. Banyak juga toko-toko buku yang mengembangkan ide-ide baru dalam menjual produk, misalnya dengan mengadakan bedah buku virtual melalui Zoom Cloud atau Instagram Live.
Kita semua melakukan yang terbaik untuk mendukung penjual buku selama ini, termasuk mengingatkan pembaca tentang aksesibilitas eBook dan kemudahan pengiriman ke rumah. Menurut saya, masa depan toko buku sangat bergantung pada seberapa cepat kehidupan kembali ke ‘normal’. Terus terang, saya berharap banyak toko yang bisa kembali beroperasi karena pandemi membuat banyak dari mereka yang tutup. Ini sangat menyedihkan, tapi mudah-mudahan, banyak perpustakaan yang masih memiliki dana, begitu semuanya dibuka kembali.
Saya merasa masih terlalu dini untuk berpendapat, tapi saya melihat banyak orang beralih ke eBook karena mereka tidak perlu khawatir tentang penularan virus akibat pengiriman – dan hal ini tentunya akan menjadi salah satu warisan utama pandemi Covid-19.
Ketidakpastian, ketakutan, harapan – semuanya adalah bagian dari cerita yang menarik. Namun, untuk dunia penerbitan selama masa pandemi, akhir cerita belum lagi ditulis.