Tantangan #28harimenulistentangcinta saya katanya bikin beberapa teman kena baper akut 😀 Jadi, kali ini saya mau cerita tentang kawan saya aja deh. Cowok pinter, berpenampilan dan berperilaku baik, lulusan luar negeri, berkarier bagus dan… masih jomblo. 🙂
Dua siang yang lalu saya ketemuan dengan kawan lama itu. Di usia jelang empat puluh, ia sangat menikmati kehidupan membujangnya, dan tak peduli ketika banyak yang mengingatkan bahwa secara konstruksi sosial semestinya ia sudah menikah dan beranak.
Saya dan dia membahas masalah konstruksi sosial ini. Ia menceritakan pada saya mengenai sebuah survei yang hasilnya dipublikasi dalam buku berjudul “So Why Have You Never Been Married? – Ten Insights into Why He Hasn’t Wed.” Saya belum pernah baca bukunya sih, jadi saya cuma bisa mendengarkan analisisnya.
Intinya buku itu ditulis agar bisa memberi pemahaman, khususnya buat pembaca perempuan, mengapa banyak lelaki sukses dan pintar (seperti kawan itu) lebih suka memilih tidak menikah. Kesimpulannya, para lelaki itu bukan takut pada perkawinan. Mereka takut dengan perkawinan yang gagal. Juga, sepuluh kali lebih takut buat kawin dengan orang yang salah ketimbang perkawinan itu sendiri.
Saya kira situasinya di sini mungkin berbeda, tapi memang saat ini makin banyak orang menunda perkawinan dan menyebutnya sebagai pilihan hidup. Barangkali ini sebuah tren, sebab ia dibawa oleh contoh dari lingkungan sekitar dan juga banyaknya perceraian selebriti yang dipublikasi di infotainment.
Hal begitu barangkali lantas membikin mereka menyimpulkan bahwa perkawinan mirip permainan judi. Mungkin kalah, mungkin menang. Sebab kita tak pernah tahu angka berapa yang akan keluar dari dadu yang dilemparkan.
Kebanyakan rekan lelaki saya yang menjomblo akan menjawab, “Ah…saya cuma belum siap, kok.” Dan buat saya pernyataan “siap” itu terlalu ambigu. Siap yang bagaimana? Punya rumah, tabungan atau siap mengambil keputusan? Jangan-jangan mereka melihat perkawinan sebagai lembaga pemasungan kebebasan. Duh!
Dengan sok tahu, saya bisa saja bilang ke mereka bahwa perkawinan adalah penyeimbang kehidupan. Saya juga bisa saja menasehati bahwa kegagalan perkawinan bukan bencana permanen sehingga tak perlu ditakuti.
Namun itu sama saja menunjukkan bahwa saya adalah si naif yang suka memberi penilaian. Makanya, saya lebih suka meledek mereka “Jadi, bertahun-tahun cuma dipakai pipis, nih? Nggak rugi?”
Pada ledekan sok eufimis itu, kawan tadi menyanggah: “Ah, kamu aja yang kurang fantasi, Trid. Seks kan nggak identik dengan pernikahan, lagian siapa bilang orang yang menikah tidak akan bersetubuh dengan yang bukan pasangannya? Nggak ada yg abadi di dunia ini, Neng” katanya sambil menoyor jidat saya.
Saya cuma diam. Kalah telak oleh argumennya.