#28harimenulistentangcinta
So everyone, here is our cheesy story…
Jumpa Pertama?
Di kampus. Dia kakak kelas saya, dan kami sering papasan tapi nggak pernah menyapa. Lantas suatu hari tiba-tiba dia mendekati saya yang lagi sendirian nunggu kelas berikutnya. Memperkenalkan diri dengan pede, lalu bilang mau pinjam disket data. Belakangan saya tahu itu hanya alasan, sebab ia tak butuh disket dan datanya. Dia cuma ingin kenalan, tapi khawatir ditolak karena saya (katanya) jaim banget di kampus 😀
Tanggal Jadian?
Nggak punya tanggal jadian. Soalnya dia bukan tipe yang suka nembak dan saya juga bukan orang yang butuh pengakuan semacam “I love you, Astrid, mau nggak kamu jadi pacarku?” Cocok, jalan. Nggak cocok, ya udahan. Se-simple itu 🙂
Menikah tanggal 20 Februari 2000, setelah masa tujuh tahun pacaran.
Naksir Duluan?
Dia 😛
Tau sih saat dia pedekate, tapi saya nggak punya ekspektasi apa-apa. Soalnya, dia pendiam dan dikenal sebagai ‘anak baik-baik’ sementara saya doyan main, temennya kebanyakan cowok, nggak suka dandan, sering heboh sendiri, tukang ngatur, ceroboh dan kadang jutek. Awalnya saya kira dia pasti nyari cewek feminin yang rajin belajar dan taat beragama, berbakti pada orang tua serta nusa bangsa 😀
Nggak taunya, dia sukanya cewek ‘berantakan’ kayak saya, hehe
Kencan Pertama?
Bentara Budaya, nonton pameran lukisan. Dia memang unik. Sementara cowok lain nge-date dengan ngajak makan atau nonton film, dia beda. Dan berani bedanya dia ini yang buat saya tertarik, lalu jatuh cinta.
Kencan-kencan berikutnya (dan sampai hari ini) juga lebih sering kami habiskan dengan nonton berbagai pameran seni atau pertunjukkan musik jazz. Aneh juga, sebab saya yang sukanya musik alternatif ini, betah berjam-jam bersamanya mendengarkan jazz, musik kesukaannya.
Lagu Favorit Berdua
Pas pacaran, kami sepakat “Negeri di Awan” dari Katon Bagaskara itu jadi soundtrack kisah cinta. Tiap dengar lagu ini, intronya langsung menguak memori, mengenai rasa dan waktu yang dihabiskan bersama-sama.
Film Pertama yang Ditonton Berdua di Bioskop
Lupa. Lagian selera filmnya beda. Dia suka film action dan perang, sedangkan saya sukanya film horor dan thriller, kadang drama cinta. Satu-satunya jenis film yang betah ditonton bedua adalah film dokumenter tentang arsitektur, sejarah atau kebudayaan.
Dan saya sebal nonton bioskop karena punya klaustrofobia, jadi lebih memilih nonton di rumah.
First Trip Bareng
Bandung. Itu beneran backpackering. Ke sana berdua naik bis antar kota. Selama di kota itu, ke mana-mana jalan kaki atau naik kendaraan umum, juga tidur di hotel mana saja nggak pakai reservasi. Pokoknya asal murah dan nyaman, langsung pesan kamar. Nggak beli oleh-oleh, hanya nyobain kuliner dan foto-foto di beberapa tempat bersejarah.
Pilih Bandung karena itu kota kelahiran saya. Kota di mana saya numpang lahir tepatnya. Sejak umur setahun, saya belum pernah ke sana lagi. Jadi, sekitar dua bulan setelah menikah, kami memutuskan traveling ke sana. Seru banget!
Yang Lebih Cemburuan?
Saya. Sama pekerjaannya aja saya cemburu, apalagi sama para mahasiswi kinyis-kinyis yang kerja praktek di proyek dan suka nge-WA dia untuk menanyakan tugas. Pfffftttt… 🙁 Untung saja, selain mereka, rekan kerja dia cowok semua. Iya, saya memang se-posesif itu.
Sebaliknya, dia nggak pernah mempermasalahkan saya kerja dengan siapa, pergi atau dekat dengan cowok mana pun. Selama dia tahu saya baik-baik saja, dan dekatnya dalam rangka pekerjaan, itu sudah cukup. Bukannya nggak peduli sih, tapi rasa percayanya ke saya tinggi banget. Sayanya aja yang kadang resek. Untungnya makin ke sini, saya makin bisa menjaga kepercayaannya.
Paling Mudah Marah?
Yaaah, dari gestur aja kan udah keliatan siapa yang paling gampang meledak 😛
Paling Lucu?
Teman-teman selalu bilang saya humoris, lucu, suka ngebanyol, dan semacamnya. Somehow, dia sebenarnya jauh lebih lucu dari saya. Ketutupan sifat pendiam, cuek dan dinginnya aja kalau sama orang yang belum dekat.
Paling Keras Kepala?
Saya, siapa lagi?
Bangun Lebih Pagi?
Dia. Meski bangunnya masih kalah pagi sama ayam jago sih
Punya Keluarga Lebih Besar?
Saya. Lah, gimana enggak? Nenek saya aja anak pertama dari empat belas bersaudara. Ayah saya punya lima adik sementara ibu punya tujuh.
Makan Paling Banyak?
Dia. Tapi nggak rewel soal menu. Apapun yang tersedia di meja makan, dia akan makan… asal nggak pedes aja.
Lebih Pinter Masak?
Saya. Sebenarnya bukan pinter sih, tapi ala bisa karena biasa. Punya anak-anak yang dalam masa pertumbuhan, perlu ibu yang bisa masak makanan bergizi baik kan? Jadi, meski tak terlalu suka dan nggak pernah mahir, saya akan masak. So far, no complain from him and the kids about the foods I made for them 😀
Lebih Sering Pegang Remote TV?
Nggak ada. Kami bukan penggemar televisi. Ada TV di rumah hanya karena kami merasa seperti itulah seharusnya interior sebuah rumah.
Penghasilan Lebih Besar?
Dia. Tapi karena saya adalah kepala keuangan di rumah, jadi saya yang pegang uang lebih banyak, hehe
Lebih Banyak Mengucapkan I Love You?
Berdua sih. Sejak menikah, kami membiasakan diri mengekspresikan cinta secara langsung.
Dia sehari bisa dua tiga kali kirim pesan teks cuma buat bilang I love you atau aku sayang kamu, dan itu dilakukan hingga hari ini. Sementara saya, random aja sih. Bisa pas pamit pergi, pas mau tidur, atau kapan pun saya kangen. Gitulah
Lebih Romantis?
Nggak ada.
Eh, romantis itu gimana sih? Kasih bunga dan hadiah? Tiap ulang taun, kami hanya memberi ucapan selamat. Romantic dinner? Jarang. Beliin barang? Saya kok lebih nyaman beli sendiri sih.
Kalau kadar romantis ditentukan dari perlakuan, mungkin dia lebih romantis karena selalu mencium kening saya setiap berangkat dan pulang kerja, juga sering menggenggam tangan saya ketika jalan berdua. Buat beberapa perempuan, ini romantis lho.
Tapi kalau definisi romantis adalah berjuang agar bisa tetap bersama, saling membahagiakan, serta berupaya agar menjadi pasangan yang lebih baik, niat kami sama-sama kuat.
Mengapa Istimewa?
Dia bilang, saya istimewa di matanya karena kemandirian saya. Dia suka perempuan yang berani memutuskan sesuatu, enggak tergantung pendapat orang lain, cerdas dan punya banyak ide. Dengan saya, ia merasa dunia ini lebih aman untuk ditinggali. Dengan saya, dia merasa ada yang selalu bisa ia andalkan.
Buat saya, dia istimewa di mata saya karena dia selalu ada kapan pun saya membutuhkan bahunya untuk menangis. Ia tak pernah men-judge apapun yang lakukan, tak pernah memarahi atau bicara keras, dan selalu mendukung keinginan-keinginan saya. Jika saya berada dalam kesulitan, dia lebih suka mem-back up daripada menyalahkan. Ia, juga tempat curhat yang tak pernah bocor. Dengannya, saya tak pernah merasa khawatir.
Dan bukankah cinta seharusnya berhenti membuatmu khawatir? 🙂
————————
Happy anniversary, my love. Thank you for sticking by my side and taking good care of me when times are tough.
Twenty four years together, and seventeen years in marriage, we have shared lots of laughters and tears. Let’s annoy each other ’til death do us part.
Sayang terus sama aku dan anak-anak, ya 🙂
Happy Anniversary…
Selalu bahagia
Thanks you so much, mbak Wied.
Oh, how I miss your stories about life in BC I used to read from your blog 🙂